Iqbal Nugraha
15514406
1PA06
Mistik
Kejawen Sebagai Filsafat Orang Jawa
Mengkaji
budaya Jawa ibarat memasuki hutan belantara yang lebat, penuh tantangan dan
keunikan, tetapi memiliki daya tarik yang membuat orang penasaran. Tak
terkecuali mempelajari mistik kejawen yang sarat dengan nuansa spiritual,
mistis, dan psikologis. Tak dapat dipungkiri, hingga saat ini, masih banyak
kontroversi perihal keberadaan mistik kejawen dan praktiknya dalam kehidupan
sehari-hari. Namun, terlepas dari kontroversi itu, yang pasti, mistik kejawen
mempunyai dunianya sendiri, memiliki ruang gerak, dan bernapas dengan leluasa.
Lantas, apa sebenarnya mistik kejawen itu? Apakah ia adalah sebuah agama,
budaya, aliran kebatinan, atau yang lainnya? Dan, masihkah ajaran kejawen
dipegang teguh oleh para pengikutnya di zaman yang serba modern ini? Dan
bagaimana pandangan agama Islam tehadap kejawen sendiri?. kita akan
membahasnya.
Mengenal
Seluk-beluk Mistik Kejawen
A.
Memaknai Mistik Kejawen
Pernahkah
anda mendengar istilah mistik kejawen? Saya yakin sebagian besar dari anda
pernah mendengar istilah ini, sekalipun anda bukan orang Jawa. Di kalangan
masyarakat Jawa, mistik kejawen sudah menyatu dan mendarah daging dalam sikap
dan perilaku keseharian. Sebagai salah satu contoh, setiap malam-malam tertentu
(misalnya malam jumat legi atau malam satu syuro), masyarakat Jawa akan melakukan
ritual-ritual tertentu lengkap dengan uba rampe yang diperlukan, seperti
sesajen, kembang, kemenyan, dan lain-lain. Nah, praktik semacam ini merupakan
bagian dari perilaku kejawen dalam masyarakat Jawa.
Tidak
hanya pada hari-hari tertentu saja, di dalam tradisi masyarakat Jawa juga
sering diselenggarakan upacara selamatan (slametan) untuk berbagai
tujuan, tergantung pada kebutuhan dan keyakinan masyarakat setempat. Misalnya,
selamatan untuk memperingati hari kelahiran anak, selamatan untuk upacara
perkawinan, selamatan untuk memperingati kematian seseorang, selamatan untuk
menolak sihir, selamatan untuk pindah rumah, selamatan untuk melawan mimpi
buruk agar tidak menjadi kenyataan, selamatan sebagai wujud syukur atas hasil
panen, selamatan untuk memohon kepada arwah, dan lain sebagainya. Untuk beberapa
tujuan itulah, selamatan sudah menjadi hal yang biasa dilakukan secara berkala
oleh masyarakat Jawa.
Meski sebagian besar dari anda telah sangat familiar dengan
istilah mistik kejawen, namun tahukah anda apa sebenarnya yang dimaksud dengan
mistik kejawen itu? Mungkin anda perlu berpikir dua kali bahkan lebih untuk menjawab
pertanyaan ini. Sebab, diakui ataupun tidak, meski mayoritas masyarakat Jawa
dalam tradisi kesehariannya tidak bisa luput dari praktik kejawen, namun banyak
dari mereka yang belum memahami makna dari istilah mistik kejawen itu sendiri.
Sehingga, muncul banyak anggapan dan pemahaman yang kurang tepat mengenai
mistik kejawen di kalangan masyarakat Jawa. Ada yang menganggapnya sebagai
agama, kebudayaan, kepercayaan, dan berbagai prokonsepsi keliru lainnnya.
Lantas, apakah sebenarnya mistik kejawen itu? Sebelum kita mendefinisikan
mistik kejawen secara utuh, mari kita definisikan terlebih dahulu berdasarkan
asal kata penyusunnya, yakni mistik dan kejawen.
1.
Pengertian Mistik
Menurut
asal katanya, kata mistik berasal dari bahasa Yunani, mystikos, yang
artinya rahasia (geheim), serbarahasia (geheimzinnig), tersembunyi
(verborgen), gelap (donker), atau terselubung dalam kekelaman (in
het duister gehuld). Berdasarkan arti tersebut, maka mistik sebagai sebuah
paham (disebut mistisme) dapat dimaknai sebagai paham yang memberikan ajaran
yang serbamistis (misal ajarannya berbentuk rahasia atau serbarahasia,
tersembunyi, gelap atau terselubung dalam kelaman), sehingga hanya dikenal,
diketahui, atau dipahami oleh orang-orang tertentu saja, terutama sekali para
penganutnya.
Sementara
itu, menurut buku karangan De Kleine W.P. Encylopaedie karya G.B.J
Hiltermann dan Van de Woestijne, Sebagaimana dikutip dalam wikipedia.org, kata
mistik berasal dari bahasa Yunani yaitu myein yang artinya menutup mata
(de ogen sluiten) dan musterion yang artinya suatu rahasia (geheimnis).
Kata mistik biasanya digunakan untuk menunjukkan hal-hal yang berkaitan dengan
pengetahuan tentang misteri. Dalam arti luas, mistik dapat didefinisikan
sebagai kesadaran terhadap kenyataan tunggal, yang mungkin disebut kearifan.
Selain
kedua pengertian diatas, masih banyak mengenai pengertian mistik lainnya, baik
menurut versi Kamus Besar Bahasa Indonesia, ilmu antropologi, filsafat, maupun
yang lainnya. Salah satunya:
a.
Mistik merupakan hal gaib yang sangat diyakini hingga tidak bisa dijelaskan
dengan akal manusia biasa.
b.
Mistik merupakan subsistem yang ada dihampir semua agama dan sistem religi
untuk memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan emosi bersatu dengan
Tuhan
c.
Mistik merupakan pengetahuan yang tidak rasinal atau tidak dapat dipahami
rasio, maksudnya hubungan sebab akibat yang terjadi tidak dapat dipahami oleh
rasio
Menurut
Prof. Harun Nasution dalam tulisan Orientalis Barat, Mistisme—yang dalam
Islam adalah tasawuf— disebut sebagai sufisme. Sebutan ini tidak dikenal dalam
agama-agama lain, kecuali khusus untuk sebutan mistisme Islam. Itu artinya, di
dalam dunia Islam, juga terdapat mistik dan aliran mistik, yaitu tasawuf.
Sebagaimana halnya mistisme (mistik dalam dunia kejawen), tasawuf atau sufisme
juga mempunyai tujuan yang sama, yakni untuk memperoleh hubungan langsung dan
disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di
hadirat Tuhan.
2.
Pengertian Kejawen
Kejawen
adalah sebuah kepercayaaan atau barangkali boleh dikatakan agama yang terutama
dianut oleh masyarakat suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Pulau Jawa.
Kata kejawen berasal dari bahasa Jawa, yang artinya segala yang berhubungan
dengan adat dan kepercayaan Jawa. Penanaman “kejawen” bersifat umum, biasanya
karena bahasa pengantar ibadahnya menggunakan bahasa Jawa. Dalam konteks umum,
kejawen merupakan bagian dari agama lokal Indonesia.
Kejawen,
dalam opini umum, berisikan tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikap, serta
folosofi orang-orang Jawa. Penganut ajaran kejawen biasanya tidak menganggap
ajarannnya sebagai agama dalam pengertian seperti agama monoteistik, seperti Islam
atau Kristen, tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan
nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (mirip dengan “ibadah”).
Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat, dan menekankan
pada konsep “keseimbangan”. Dalam pandangan demikian, kejawen memiliki
kemiripan dengan konfusianisme (paham yang berintikan nilai-nilai moral
kebaikan kepada penganutnya), namun tidak sama pada ajaran-ajarannya.
Simbol-simbol
“laku” biasanya melibatkan benda-benda yang diambil dari tradisi yang dianggap
asli Jawa, seperti keris, wayang, pembacaan mantra, penggunaan bunga-bunga
tertentu yang memiliki arti simbolik, sesajen, dan lain sebagainya. Akibatnya,
banyak orang (termasuk penghayat kejawen sendiri) yang dengan mudah
mengasosiasikan kejawen dengan praktik klenik dan pendukunan. Ajaran-ajaran
kejawen bervariasi, dan sejumlah aliran dapat mengadopsi ajaran agama
pendatang, baik Hindu, Buddha, Islam, maupun Kristen. Oleh karena itu, lahirlah
yang namanya Islam kejawen.
Menurut
Kodiran (1971), kebudayaan spiritiual Jawa yang disebut kejawen ini memiliki
ciri-ciri umum. Pertama, orang Jawa percaya bahwa hidup di dunia ini
sudah diatur oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Mereka bersifat menerima takdir
sehingga mereka tahan dalam hal menderita. Kedua, orang Jawa percaya
pada kekuatan gaib yang ada pada benda-benda, seperti keris, kereta istana, dan
gamelan. Benda-benda tersebut setiap tahun harus dimandikan (dibersihkan) pada
hari Jum’at Kliwon bulan Suro dengan upacara siraman. Ketiga, orang Jawa
percaya terhadap roh leluhur dan roh halus yang berada di sekitar tempat
tinggal mereka. Dalam kepercayaan mereka, roh halus tersebut dapat mendatangkan
keselamatan apabila mereka dihormati dengan melakukan selamatan dan sesaji pada
waktu-waktu teretentu.
B. Asal
Usul Kejawen
Asal
usul kejawen sebenarnya bermula dari dua tokoh misteri, yaitu Sri dan Sadono. Sri
sejatinya adalah penjelmaan Dewi Laksmi, istri Wisnu, sedangkan Sadono adalah
penjelmaan dari Wisnu itu sendiri. itulah sebabnya, jika ada anggapan bahwa Sri
dan Sadono adalah kakak beradik, kebenarannya tergantung dari mana kita
meninjau. Namun, kaitannya dengan hal ini, Sri dan Sadono sesungguhnya adalah
suami-istri yang menjadi cikal bakal kejawen.
Dewi Sri
dan Wisnu, menurut Tantu Panggelaran, memang pernah diminta turun ke arcapada
untuk menjadi nenek moyang di Jawa. Dalam Babad Tanah Jawi juga
dijelaskan bahwa orang pertama yang membabad (menempati/tinggal) Tanah Jawa
adalah Batara Wisnu. Sumber ini meneguhkan sementara bahwa nenek moyang
masyarakat Jawa memang seorang dewa. Dengan demikian, kaum kejawen sebenarnya
berasal dari keturunan orang yang tinggi tingkat sosial dan kulturnya.
Selanjutnya, Dewi Sri dianggap menjelma ke dalam diri tokoh Putri Daha bernama
Dewi Sekartaji atau Galuh Candrakirana, sedangkan Sadono menjadi Raden Panji.
Keduanya pernah berpisah, namun akhirnya bertemu kembali.
Menurut
beberapa sumber, pertemuan Sri dan Sadono atau Panji dan Sekartaji terjadi di
Gunung Tidar, Magelang, Jawa Tengah. Tempat itu kemudian oleh Sadono dan Sri
diberi tetenger (tanda), dengan menancapkan paku Tanah Jawa. Hal ini
sekaligus untuk mengokohkan Tanah Jawa yang sedang berguncang. Dan, sejak itu,
Tanah Jawa kembali tenang. Paku tersebut kelak dinamakan Pakubuwana (Paku
Bumi). Pakubuwana inilah yang membuat orang Jawa tenang, sehingga keturunan Sri
dan Sadono menjadi banyak. Hanya saja, keturunan mereka ada yang baik dan ada
yang buruk.
C.
Karakteristik Kejawen
Pada
umumnya, orang Jawa percaya bahwa semua penderitaan akan berakhir bila telah
muncul Ratu Adil. Kepercayaan akan benda-benda bertuah serta melakukan slametan
merupakan upaya orang Jawa untuk melakukan harmonisasi terhadap alam
sekelilingnya. Selain itu, inti dari ajaran kejawen adalam amemayu hayuning
bawana, yang dimuat dalam Kakawin Arjuna Wiwaha (Mpu Kanwa, 1032).
Menjelaskan ajaran ini, Mpu Kanwa menggambarkan tugas seorang pimpinan yang
harus memperbaiki dan memakmurkan dunia, seperti dinyatakan dalam Pupuh V bait
4-5. Sunan Pakubuwana IX (1861-1893) mengubah bait tersebut dalam serat
Wiwaha Jarwa menjadi “Amayu jagad puniki kang parahita, tegese parahita
nenggih angecani manahing Iyan wong sanagari puniki” (melindungi dunia ini
dan menjaga kelestarian parahita, arti parahita ialah menyenangkan hati orang
lain di seluruh negeri ini).
Tugas
hidup amemayu hayuning bawana, oleh Ki Ageng Suryamentaram dan Ki Hajar
Dewantara, dikembangkan menjadi mahayu hayuning bangsa, mahayu hayuning
bawana (memelihara dan melindungi keselamatan pribadi, bangsa, dan dunia).
Tugas amemayu hayuning bawana jelas merupakan kewajiban bagi setiap orang
sebagai pemimpin.
D. Hal
yang berbeda dalam Mistik Kejawen
Ada
beberapa hal yang membedakan mistik kejawen dengan agama, ajaran, atau
mistik-mistik lainnya. Pertama, kejawen tentu saja tidak memiliki kitab suci
sebagaimana layaknya agama-agama yang ada. Sebab, kejawen bukanlah agama,
melainkan pandangan hidup yang sudah turun-temurun ribuan tahun melalui proses
interaksi antara manusia dengan jagad raya.
Kedua,
jika didefinisikan mistik kejawen merupakan hasil interaksi nilai-nilai
kearifan lokal yang terjadi sejak zaman kuno pada masa kebudayaan spiritual
animisme, dinamisme, dan monteseisme hingga saat ini.
Ketiga,
walaupun latar belakang keagamaan masyarakat Jawa berbeda-beda, namun mereka
memiliki unsur kesamaan dalam tatalaksana ritual Jawaisme. Perbedaannya hanya
terletak pada bahasa yang digunakan dalam doa atau mantra. Namun, hakikat dari
ritual sebenarnya sama saja, yakni bertujuan untuk selamatan.
E. Teori
Mistik Kejawen
Mistik
kejawen adalah suatu upaya spiritual ke arah pendekatan diri kepada Tuhan yang
dilakukan oleh sebagian masayarakat Jawa. Pada dasarnya ada beberapa alasan
mendasar menjalankan mistik kejawen. Alasan ini berhubungan dengan hakikat
hidup manusia, dimana hidup manusia dituntut harus berbuat yang sejalan dengan
kehendak Tuhan. Itulah sebabnya, manusia menjalankan berbagai laku yang dikenal
sebagai ritual mistik kejawen. Hal ini sejalan dengan pandangan antropolog, Geertz.
Bahwa ada beberapa postulat yang berhubungan dengan teori mistik, diantaranya
sebagai berikut:
1. Dalam
kehidupan sehari-hari manusia, perasaan tentang “baik” dan “buruk”, serta
“kebahagiaan” dan “ketidakbahagiaan” saling bergantung dan tidak bisa
dipisahkan. Tak satu pun manusia bisa berbahagia sepanjang waktu, tetapi secara
terus-menerus berada di antara dua keadaan ini dari hari ke hari, jam ke jam,
menit ke menit.
2. Tujuan
manusia adalah untuk “tahu” dan “merasakan” rasa tertinggi ini dalam diri
sendiri. prestasi demikian membawa kekuatan spiritual, suatu kekuatan yang bisa
digunakan untuk maksud baik maupun buruk dalam soal-soal duniawi.
3. Pada
tingkat pengalaman dan eksistensi tertinggi, semua manusia adalah satu dan sama
serta tidak ada individualitas.
4. Karena
tujuan semua manusia untuk mengalami rasa, maka sistem religi kepercayaan dan
praktik-praktiknya seharusnya hanyalah merupakan alat untuk mencapai tujuan
tersebut dan hanya baik sepanjang semua itu bisa membawa kesana.
Dari
beberapa postulat di atas, tampak bahwa mistik kejawen memiliki tujuan mulia.
Melalui olah rasa dan penghayatan batin yang mendalam, seorang pelaku mistik
akan mencapai rasa tertinggi dan selanjutnya hidupnya akan tenteram dan damai.
F.
Dasar-Dasar Filsafat Jawa (Kejawen)
Adapun
dasar-dasar filsafat Jawa adalah sebagai berikut.
1.
Kesadaran Religius
Keimanan
dan kepercayaan kepada sesembahan (Tuhan) mendasari munculnya sistem religi dan
ritual penyembahan, yaitu sembah raga, jiwa, dan sukma, yang mencakup semua
daya hidup berupa cipta, rasa, karsa, dan daya spiritual. Ritual itu bisa
berbentuk tapa brata, yang terdiri dari lima laku, yakni mengurangi makan, dan
minum, mengurangi keinginan hati, mengurangi nafsu berahi, mengurangi nafsu
amarah, dan mengurangi berkata-kata atau bercakap-cakap yang sia-sia.
2.
Kesadaran Kosmis
Kesadaran
kosmis menggambarkan hubungan manusia dengan alam semesta dan isinya. Kesadaran
kosmis ini mencitrakan ritual sesaji dengan falsafah semua yang ada di semesta adalah satu yang berasal dari Sang
Pencipta. Falsafah ini mendasari pengetahuan kesatuan, berupa hubungan
kosmis-magis manusia dan alam seisinya.
3.
Kesadaran Peradaban
Kesadaran
peradaban adalah pemahaman mengenai hubunan manusia dengan manusia. Kesadaran
ini berwujud ajaran manusia sebagai makhluk utama harus berhubungan dengan
sesama manusia dalam keutamaan (beradab). Kesadaran peradaban ini mewujudkan
kesadaran berintegrasi, terlebih dalam bernegara.
Memahami
Konsep Ajaran Kejawen
A.
Konsep Kejawen Tentang Kehidupan Dunia
Pandangan
kejawen tentang makna hidup manusia didunia ditampilkan secara rinci,
realistis, logis, dan mengena di hati nurani—bahwa hidup ini diumpamakan hanya
sekedar “mampir-minum”, hidup dalam waktu sekejap, dibandingkan kelak hidup di
alam keabadian setelah raga ini mati. Pada awalnya Tuhan meminjamkan raga
kepada ruh, dan ruh harus mempertanggungjawabkan “barang” pinjamannya itu,
apabila waktu “kontrak” peminjaman telah habis. Hidup didunia ini hanya
sementara. Dan, apa yang dimiliki manusia di dunia hanyalah merupakan bentuk
pinjaman yang diberikan Tuhan.
B.
Konsep Kejawen tentang Pahala, Dosa, Kebaikan, dan keburukan
Pahala,
dosa, kebaikan, dan keburukan merupakan empat hal yang saling bersinergi.
Maksudnya, pahala merupakan buah ganjaran dari kebaikan dan dosa adalah buah
ganjaran dari keburukan. Dalam agama apapun, konsep ajaran seperti ini hampir
sama.
Ajaran
kejawen tidak pernah menganjurkan seseorang menghitung-hitung pahala dalam
setiap beribadah. Bagi kejawen, motivasi beribadah atau melakukan perbuatan
baik kepada sesama bukan karena tergiur surga. Demikian pula dalam melaksanakan
sembahyang menyembah kepada Tuhan Yang Maha Suci, bukan karena takut neraka dan
tergiur iming-iming surga, melainkan dalam kejawen ini disebut sebagai
kesadaran kosmik, bahwa setiap perbuatan baik kepada sesama adalah sikap adil
dan baik pada diri sendiri. kebaikan kita kepada sesama merupakan kebutuhan
diri kita sendiri.
C.
Konsep Kejawen tentang Tuhan
Di dalam
pandangan kejawen, Tuhan tidak pernah menghukum ciptaan-Nya sendiri. Sebab,
sebagaimana semua agama di dunia ini, ajaran kejawen meyakini bahwa Tuhan bisa
membuat apa saja, dan sempurna. Intinya, untuk apa Tuhan harus menghukum
makhluk ciptaan-Nya sendiri? Bukankah Tuhan sesungguhnya dapat membuat manusia
sempurna?.
Konsep
tentang Tuhan mencakup konsep mengenai siapa yang disembah (sesembahan) dan
siapa yang menyembah serta bagaimana cara menyembahnya.
Masyarakat
kejawen juga beranggapan bahwa Tuhan merupakan sesuatu yang abstrak, tetapi
keberadaan-Nya merupakan sesuatu yang mutlak sebagai pencipta alam seisinya.
D.
Konsep Kejawen tentang Alam
Kejawen
meyakini bahwa alam ini terdiri dari tiga jenis, yakni alam fana atau dunia
nyata, alam gaib, dan alam tunggu atau alam barzakh. Alam fana dihuni oleh
manusia, binatang, tumbuhan, dan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Adapun alam
gaib dihuni oleh jin dan roh. Jin terdiri dari yang baik dan jin yang jahat
yang kemudian disebut setan atau demit. Roh adalah arwah manusia yang telah
meninggal dunia, yang semasa hidupnya sangat dekat dengan Tuhan sehingga
dianugerahi ilmu dari-Nya serta diberi kesempatan untuk terus bisa mengamalkan
ilmunya sampai hari kiamat. Adapun alam tunggu atau alam barzakh dihuni oleh
arwah manusia yang sudah tenteram untuk menunggu datangnya hari kiamat.
Menurut
kejawen, tugas-tugas makhluk di alam adalah sebagai berikut:
a. Manusia
diberikan tugas untuk mencari bekal sebanyak-banyaknya agar bisamasuk ke surga
setelah hari kiamat tiba.
b. Jin
baik diberikan tugas untuk mencari bekal sebanyak-banyaknya agar bisa masuk ke
surga setelah hari kiamat tiba.
c. Jin
yang jahat yang disebut setan/demit diberikan tugas untuk mengganggumanusia
agar tidak bisa masuk surga dan menemani mereka masuk ke neraka.
Manusia
untuk bisa mencapai tidaklah mudah, sebab setan/demit selalu dan pasti akan menghalangi
dengan berbagai cara dan upaya. Adapun cara-cara yang dilakukan setan untuk
menghalangi, antara lain lewat pesugihan, jimat, santet, dan pusaka.
Pandangan
Islam terhadap Kejawen Sebagai Akulturasi Budaya Islam dan Jawa
Pada
dasarnya, Islam tidak mengenal istilah atau ajaran kejawen. Secara bahasa
maupun istilah, di dalam al-Qur’an dan Hadits tidak ditemukan penjelasan
tentang kejawen. Banyak versi yang mengatakan kejawen muncul seiring dengan
datangnya para wali (Wali Songo) ke tanah Jawa dalam rangka menyebarkan ajaran Islam.
Ketika itu, para wali melakukan penyebaran agama dengan cara yang halus, yaitu
memasukkan unsur budaya dan tradisi Jawa agar mudah diterima serta dipahami
masyarakat kala itu. Inilah, menurut sebagian kalangan, yang menjadi cikal
bakal munculnya Islam kejawen.
Jawa dan
kejawen seolah tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Kejawen bisa jadi
merupakan suatu sampul atau kulit luar dari beberapa ajaran yang berkembang di
Tanah Jawa semasa zaman Hinduisme dan Buddhisme. Dalam perkembangannnya,
penyebaran Islam di Jawa juga dibungkus oleh ajaran-ajaran terdahulu, bahkan
terkadang melibatkan aspek kejawen sebagai jalur perantara yang baik bagi
penyebarannya. Oleh Wali Songo, unsur-unsur dalam Islam berusaha ditanamkan
dalam budaya-budaya Jawa, mulai dari pertunjukkan wayang kulit, dendangan
lagu-lagu Jawa, ular-ular (petuah berupa filsafat), cerita-cerita kuno,
hingga upacara-upacara tradisi yang dikembangkan khususnya di Kerajaan Mataram (Yogyakarta/Surakarta).
Semua itu merupakan budaya kejawen yang diadaptasi ke dalam Islam.
Dari
penjelasan di atas, maka secara ringkas dapat disimpulkan bahwa mistik kejawen
adalah bersifat universal bagi siapapun. Laku spiritual kejawen juga
beradasarkan pandangan hidup atau falsafash hidup, atau disebut juga Jawaisme
(javanism). Yang paling utama dalam laku spiritual Jawa adalah perilaku
didasari oleh cinta kasih dan pengalaman nyata. Maka, bagi siapa pun yang
mengaku menghayati falsafah hidup Jawa namun perangainya masih mudah terbawa
api emosi, angkara murka, reaktif, sectarian, dan primodialisme, kiranya belum
memahami secara baik nilai – nilai dalam falsafah hidup kejawen. Mistik kejawen
merupakan bagian dari ribuan mistik yang ada di dunia. Setiap masyarakat
bangsa, dan budaya memiliki nilai – nilai tradisi orthodox tersendiri, sebagai
mistik yang dipegang teguh sebagai pedoman hidup. Sebagai contoh, mistik Islam
yang dikenal dengan orang – orang yang mendalaminya disebut orang – orang zuhud
dan sufi, mistik Buddha dikenal Buddhisme, Mistik Hindu yang dikenal dengan
Hinduisme, dan masih banyak lagi mistik – mistik di dunia ini.
Mistik
lebih fleksibel jika dibandingkan dengan Agama, sebab mistik tidak
mempersoalkan latar belakang ajaran, Agama, ataupun budaya orang yang ingin
menghayatinya. Meski demikian, hal tersebut tidak menimbulkan risiko yang
sesungguhnya,keberagaman “kulit” akan dikulit, lalu diambil sisi maknawiahnya
yang bersifat hakikat atau esensial. Orang Jawa, Hindu, Buddha, Islam dan
Kristen bisa saja mempelajari ilmu tasawuf. Demikian pula sebaliknya, umat
Hindu juga bisa mempelajari falsafah hidup Jawa. Hanya saja, kecenderungan
kekuasaan rezim Agama akan membuat batasan – batasan tegas kepada para
penghayatan mistik dengan mistik itu sendiri. Bahkan, sering terjadi prejudice
(prasangka), pencitraan secara subjektif, dan punishment (hukuman) yang
berdasarkan kepentingan rezim. Jangankan terhadap lintas budaya dan Agama, di
dalam lingkup Agama itu sendiri pun kerap terjadi hal – hal tersebut. Maka yang
terjadi adalah umat yang terkesan “Agamais” tetapi sangat miskin pencapaian
spiritualnya.
Lalu,
bagaimana dengan mistik kejawen? Mistik kejawen lain daripada yang lain. Kaum
kejawen memiliki tradisi asli. Tradisi tersebut berupa pemujaan kekuatan
adikodrati yang diwujudkan dengan ritual slametan. Itulah sebabnya, mistik
kejawen adalah gejala religi yang unik. Keunikan mistik kejawen berlangsung
secara turun – temurun. Kehidupan sehari – hari , tubuh dan lingkungan
sekitarnya adalah sumber “kitab” mistik kejawen menggunakan slametan. Jadi,
slametan adalah inti tradisi kejawen yang menjadi wahana mistik. Melalui
slametan, ritual mistik mendapatkan jalan sasaran sinar cahaya yang di Ridhoi.
Daftar Pustaka
Abimanyu,
Petir. 2014. Mistik Kejawen; Menguak Rahasia Hidup Orang Jawa.
Yogyakarta: Palapa
Abimanyu,
Soedjipto. 2013. Babad Tanah Jawi Terlengkap dan Terasli. Yogyakarta:
Laksana
Geertz,
Clifford. 1981. Abangan; Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta:
Pustaka Jaya
M.C.,
Wahyana Giri. 2009. Sajen dan Ritual Orang Jawa. Yogyakarta: Narasi
1 komentar:
terima kasih atas Paper ini, sangat membantu saya untuk mengenal kebudayaan Jawa.
Terima kasih Pa Iqbal Nugraha.
God Bless
Romo Niko,CMF
Posting Komentar